img_head
ARTIKEL

Fungsi Hukum Pidana Internasional Dihubungkan Dengan Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi

Jul05

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 7.703 Kali

Oleh: Dr. LILIK MULYADI, SH., MH

 

I. Pendahuluan

Pada dasarnya, menurut Romli Atmasasmita istilah Hukum Pidana Internasional atau Internationale Strafprocessrecht semula diperkenalkan dan dikembangkan oleh pakar-pakar hukum internasional dari Eropa daratan seperti:  Friederich  Meili  pada  tahun  1910  (Swiss)  Georg  Schwarzenberger pada tahun 1950 (Jerman);  Gerhard  Mueller pada tahun 1965 (Jerman);  J.P. Francois pada tahun 1967; Rolling pada tahun 1979 (Belanda); Van Bemmelen pada  tahun 1979 (Belanda),  kemudian  diikuti  oleh para  pakar hukum  dari Amaerika   Serikat   seperti:   Edmund   Wise   pada   tahun   1965   dan   Cherif Bassiouni pada tahun 1986 (Amerika Serikat).
Ditinjau dari substansinya maka hukum pidana internasional itu sendiri
menunjukkan   adanya   sekumpulan   kaidah-kaidah   dan   asas-asas   hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan internasional.  Akan tetapi, sebenarnya pengertian Hukum Pidana Internasional tidaklah sesederhana itu. Ruang lingkup dan dimensi dari Hukum Pidana Internasional  teramat luas dan  bahkan  mempunyai  6  (enam)  pengertian.  Romli  Atmasasmita  lebih lanjut   menyebutkan    keenam   pengertian   Hukum   Pidana   Internasional tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut:

 

  1. Hukum Pidana   Ingternasional   dalam   arti   lingkup   teritorial pidana nasional (internasional criminal law in the meaning of the territorial scope of municipal criminal law) ;
  2. Hukum Pidana      Internasional      dalam     arti     kewenangan internbasional  yang  terdapat  di  dalam  hukum  pidana internasional  (international  criminal  law  in  the  meaning  of internationally priscribel municipal criminal law);
  3. Hukum Pidana      Internasional      dalam     arti     kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional (international criminal law in the meaning of internationally authorised municipal criminal law);
  4. Hukum Pidana Internasional dalam arti ketentuan hukum pidana nasional    yang    diakui    sebagai    hukum    yang    patut    dalam kehidupan  masyarakat  bangsa  yang  beradab  (international criminal  law  in  the  meaning  of  municipal  criminal  law  common  to civilised nations);
  5. Hukum Pidana Internasional dalam arti kerja sama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan pidana nasional (international criminal law in the meaning of international co-operation in the administration of municipal criminal justice);
  6. Hukum Pidana  International  dalam  arti  materiil  (international criminal law in the material sense of the word).

 

Asumsi   di   atas   menegaskan   bahwa   Hukum   Pidana   Internasional teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial hukum pidana nasional, akan  tetapi  juga  meliputi  aspek  internasional  baik  dalam  arti kewenangan internasional yang terdapat dalam hukum pidana nasional, mekanisme administrasi  peradilan  pidana  nasional  serta  hukum  pidana  internasional dalam arti materril. Secara universal dan kasuistik maka ada hubungan erat antara Hukum Pidana Internasional  dengan kejahatan transnasional.  Tegasnya,  karena  ada hubungan sedemikian erat antara Hukum Pidana Internasional dengan kejahatan transnasional yang demikian kompleks baik mengenai cara melakukannya  (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan sistem hukum pelbagai negara. Kejahatan transnasional merupakan kejahatan-kejahatan yang sebenarnya  adalah  nasional  yang  mengandung  aspek  transnasional  atau lintas batas negara. Jadi, terjadinya kejahatan itu sendiri sebenarnya di dalam batas-batas wilayah negara (nasional) akan tetapi dalam beberapa hal terkait kepentingan  negara-negara  lain,  sehingga  nampak  adanya  dua  atau  lebih negara yang berkepentingan  atau yang terkait dengan kejahatan itu. Dalam praktiknya,  tentu  ada  banyak  faktor  yang  menyebabkan  terkaitnya kepentingan lebih dari satu negara dalam suatu kejahatan. Tegasnya, kejahatannya sendiri adalah nasional, tetapi kemudian terkait kepentingan negara atau negara  lainnya,  maka  nampaknya  sifatnya  yang transnasional. Misalnya,  khusus tindak pidana  korupsi,  dimana  pelaku (offender)  maupun aset  hasil  korupsi  tersebut  kemudian  disimpan  di  negara  lain  sehingga sehingga tidak saja meliputi batas wilayah negara yang bersangkutan tetapi juga memasuki wilayah negara lain.

 

II.  Fungsi  Hukum  Pidana  Internasional  Dihubungkan  Dengan  Kejahatan Transnasional Khususnya Terhadap Tindak Pidana Korupsi


Hukum Pidana Internasional atau international criminal law atau internationale  strafprocessrecht  merupakan  cabang  ilmu  hukum  yang  relatif baru. Romli Atmasasmita menyebutkan pengembangan Hukum Pidana Internasional sebagai salah satu cabang ilmu hukum dimulai oleh pekerjaan Gerhard  O.W.  Mueller  dan Edmund  M. Wise  yang telah  menyusun  suatu karya  tulis  International  Criminal  Law  dalam  rangka  proyek  penulisan  di bawah judul Comparative Criminal Law Project dari Universitas New York. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Bassiouni dan V. Nada (1986), yang telah  menulis  sebuah  karya  tulis  A  Treatise  on  International  Criminal  Law (1973). Sebagaimana   apa  yang  telah  diterangkan   di  atas  maka   eksistensi Hukum Pidana Internasional hakikatnya teramat penting khususnya apabila dihubungkan dengan kejahatan transnasional. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka pada pokoknya sebenarnya  ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional. Adapun keempat fungsi tersebut adalah sebagai berikut:

 

  1. Agar hukum nasional di masing-masing negara dipandang dari sudut hukum  pidana  internasional  sama  derajadnya.  Dari aspek  ini, maka menempatkan  negara-negara  di  dunia  ini  tanpa  memandang  besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang sama.
  2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain.
    Tegasnya,   agar   negara   besar   tidak   melakukan   intervensi   hukum terhadap negara yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan penjabaran  dari  asas  non-intervensi.  Menurut  asas  ini,  maka  suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain,  kecuali  negara  itu  sendiri  menyetujui  secara  tegas.  Jika  suatu negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non-intervensi.
  3. Hukum  Pidana  Internasional  juga  mempunyai  fungsi  sebagai “jembatan”  atau  “jalan  keluar”  bagi  negara-negara  yang  berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh negara- negara yang berkonflik. Oleh karena itu maka Hukum Pidana Internasional  inilah  yang merupakan  “jembatan”  atau “jalan  keluar” bagi negara-negara yang berkonflik.
  4. Hukum Pidana Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan agar  penegakan   Hak   Asasi   Manusia   (HAM)   Internasional   relatif menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan terhadap  hak-hak  asasi  manusia”.  Asas  ini  membebani  kewajiban kepada  negara-negara  bahkan  kepada  siapapun  untuk  menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga.  Berdasarkan  asas  ini,  tindakan  apapun  yang  dilakukan  oleh negara-negara atas seseorang atau lebih dalam status apapun juga, tindakannya  ini tidak boleh melanggar ataupun bertentangan dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, suatu negara membuat peraturan perundang-undangan nasional dalam bidang hukum pidana seperti undang-undang tidak pidana korupsi, terorisme, money loundering, dan lain sebagainya tidak boleh ada ketentuannya yang bertentang dengan hak asasi manusia.

 

Keempat  fungsi  Hukum  Pidana  Internasional  tersebut  merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial. Apabila dijabarkan, maka keempat   fungsi   tersebut   berhubungan   erat   dan  dapat   diaplikasikan terhadap kejahatan transnasional khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi yang merupakan bahasan topik dalam paper ini.
Tindak pidana korupsi merupakan  salah  satu  bagian  dari  hukum pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi mempunyai spesifikasi    tertentu    yang    berbeda    dengan    hukum    pidana  umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya  kebocoran serta penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 erhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional  dan internasional,  telah  melemah (United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), 2003) mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius tan  institusi,  nilai-nilai demokrasi  dan  keadilan  serta  membahayakan  pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.
Selain itu, dikaji dari perspektif internasional pada dasarnya korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta menjadi atensi masyarakat internasional. Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption  in  Goverment”  di  Havana  tahun  1990  merumuskan  tentang akibat korupsi, berupa:

 

1.   Korupsi  dikalangan  pejabat  publik  (corrupt  activities  of  public official):

  • Dapat menghancurkan  efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes”)
  • Dapat menghambat pembangunan (“hinder development”)
  • Menimbulkan    korban    individual    kelompok    masyarakat (“victimize individuals and groups”).


2. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang haram.

Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi,  transnasional  dan multidimensional  dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem,  yuridis,  sosiologis,  budaya,  ekonomi  antar negara dan lain sebagainya.  Dikaji dari perspektif yuridis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes) sebagaimana dikemukakan  Romli Atmasasmita, bahwa:
“Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi  di  Indonesia  bukan  merupakan  kejahatan  biasa  (ordinary crimes)  melainkan  sudah  merupakan  kejahatan  yang  sangat  luar biasa  (extra-ordinary  crimes).  Selanjutnya  jika  dikaji  dari  sisi  akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan  korupsi  merupakan  perampasan  hak  ekonomi  dan  hak sosial rakyat Indonesia.

Selain  itu,  dari  dimensi  lain  maka  Penjelasan  Umum  UU  Nomor  30 Tahun   2002   tentang    Komisi   Pemberantasan    Tindak   Pidana    Korupsi, menegaskan pula:
“Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan   pelanggaran   terhadap   hak-hak   sosial   dan   hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan   telah   menjadi   suatu  kejahatan   luar  biasa.   Begitupun dalam  upaya  pemberantasannya  tidak  lagi dapat  dilakukan  secara biasa,  tetapi dituntut  cara-cara  yang luar biasa.  Penegakan  hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional   selama  ini  terbukti  mengalami  berbagai  hambatan. Untuk  itu diperlukan  metode  penegakan  hukum  secara  luar  biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam    upaya    pemberantasan     tindak    pidana    korupsi,    yang
pelaksanaannya     dilakukan     secara     optimal,     intensif,     efektif, profesional serta berkesinambungan.”

Tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan  yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini maka fungsi Hukum Pidana Internasional adalah sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat di negara lain sepanjang  hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial,  budaya  dan  kultur  orang  Indonesia.  Oleh karena  korupsi  kejahatan yang bersifat  transnasional  maka  Hukum  Pidana  Internasional  merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara satu negara dengan  negara  lainnya.  Dalam  praktik  hal ini telah dilaksanakan  misalnya seperti apa yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani perjanjian  ekstradisi  dengan  negara  Singapura  yang  salah  satu kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan koruptor yang bersembunyi di negara tersebut.
Selain   itu,   dengan   dilakukannya    perjanjian    ekstradiksi    tersebut membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional yang kedua yaitu  tidak  adanya  intervensi  hukum  antara  satu  negara  dengan  negara lainnya.  Aspek  ini disebabkan,  oleh karena  antara  negara  satu dan negara lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan secara sukarela dan saling menguntungkan   kedua  belah  pihak.   Negara   pihak  atau  negara  korban korupsi dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hukum ekstradiksi kepada negara ketempatan tempat koruptor maupun asetnya disembunyikan. Oleh karena itu, melalui saluran ekstradiksi ini relatif dapat lebih   memulangkan   koruptor   maupun   asetnya   kembali   kepada   negara korban.
Kembalikan dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila negara korban  maupun  negara  ketempatan  tidak  ada  penjanjian  ekstradiksi  maka para koruptor maupun aset relatif tidak dapat dilakukan negosiasi untuk memulangkan  koruptor  beserta  asetnya.  Atau  dapat  juga  apabila  negara korban  maupun  negara  ketempatan  terjadi konflik  terhadap  para  koruptor maupun  asetnya.  Maka  terhadap  aspek ini, fungsi  Hukum  Pidana Internasional sangat berperan di dalamnya. Para negara korban melalui jalur hukum internasional dapat meminta kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili  negara yang bersangkutan  agar dapat memberi  jalan keluar baik kepada  negara  korban  maupun  kepada  negara  ketempatan  agar  memutus secara adil perkara  yang bersangkutan.  Oleh karena  yang memutus  adalah Mahkamah Internsional  yang bersifat independen maka diharapkan konflik yang terjadi diharapkan selesai serta diputus berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima baik oleh negara korban maupun negara ketempatan.
Berhubungan  dengan  apa  yang  telah diuraikan  di atas  yaitu  fungsi Hukum  Pidana  Internasional   sebagai  jembatan  agar  hukum  nasional  di masing-masing  negara  dipandang  dari  sudut  hukum  pidana  internasional sama derajadnya, kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga mempunyai fungsi sebagai “jembatan”  atau “jalan keluar”  bagi negara-negara  yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana Internasional juga berfungsi  untuk  dijadikan  landasan  agar  penegakan  Hak  Asasi  Manusia (HAM)   Internasional   relatif   menjadi   lebih   baik.   Fungsi   keempat   ini merupakan  “kunci”  bagi  penegakan  hukum  khususnya  terhadap  Tindak Pidana Korupsi.
Pada  asasnya,  Hak  Asasi  Manusia  menurut  Bab  I  Pasal  I  angka  1 Undang-Undang   Nomor   39   Tahun   1999   Tentang   Hak   Asasi   Manusia disebutkan merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu maka pada dasarnya menurut Paul   Sieghart   secara global   HAM terdiri dari tiga generasi, yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang kesemuanya itu sesungguhnya  merupakan hak individu. Oleh karena tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes   sehingga diperlukan     penanggulangan  yang bersifat luar biasa (extra ordinary enforcement)   dan  tindakan-tindakan   yang  luar  biasa  pula  (extra  ordinary measures) maka Hukum Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman  yang  dapat  berfungsi  agar  penindakan  dan  penegakan  hukum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.

 

III. Penutup


Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional yaitu sebagai jembatan agar hukum  nasional  di  masing-masing  negara  dipandang  dari  sudut  hukum pidana internasional sama derajadnya, sebagai pencegah tidak ada intervensi hukum  antara  negara  satu dengan  yang lain (asas non-intervensi),  sebagai “jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar dan landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional relatif menjadi lebih baik berkorelasi dengan kejahatan transnasional khususnya terhadap kejahatan korupsi.   Oleh  karena  itu,  diharapkan   nantinya   keempat  fungsi  Hukum Pidana  Internasional  tersebut  relatif  dapat  lebih  berperan  maksimal  bagi negara-negara di dunia untuk dapat menindaklanjuti kejahatan korupsi.***

 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek  Kebijakan  Penegakan  dan Pengembangan Hukum Pidana, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998
I Wayan  Parthiana,  Hukum Pidana Internasional,  PenerbitCV  Yrama  Widya, Bandung, 2006
Paul   Sieghart,   The   Lawful   Rights   Of   Mankind,   An   Introduction   To   The International  Legal  Code  Of  Human  Rights,    Oxford  University Press, 1986
Romli  Atmasasmita,  Pengantar  Hukum  Pidana  Internasional,  Penerbit  Refika Aditama, Bandung, 2003
--------------------------, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002
-------------------------,    Strategi    Dan   Kebijakan   Pemberantasan    Korupsi    Pasca Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003: Melawan Kejahatan Korporasi, Paper, Jakarta, 2006
-------------------------, Strategi dan Kebijakan Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Melawan Kejahatan Korporasi di Indonesia: Membentuk Ius Constituendum  Pasca Ratifikasi  Konvensi  PBB Menentang  Korupsi Tahun 2003, Paper, Jakarta, 2006

 

Sumber :

http://badilum.mahkamahagung.go.id/upload_file/img/article/doc/fungsi_hukum_pidana_internasional_dihubungkan_dengan_kejahatan_transnasional.pdf