img_head
ARTIKEL

Pembuktian Pidana

Jun14

Konten : artikel hukum
Telah dibaca : 64.328 Kali

PEMBUKTIAN PIDANA

oleh Rahmat Aries.SB,SH,MH.

Dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, konteks Pembuktian Pidana merupakan inti persidangan perkara pidana dalam sistem peradilan umum di Indonesia, untuk mencari kebenaran materiil. Pembuktian Pidana tersebut telah dimulai sejak tahap penyelidikan guna menemukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan dalam rangka membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan tersangka dari tindak pidana tersebut;

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti  memberikan atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan;

Pembuktian (bewijs) dalam bahasa Belanda memiliki dua arti, bisa diartikan sebagai perbuatan dengan mana diberikan suatu kepastian, bias juga diartikan sebagai akibat dari perbuatan tersebut yaitu terdapatnya suatu kepastian;

Pembuktian menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berdasarkan pasal 183 KUHAP, sistem yang dianut oleh KUHAP adalah sistem pembuktian  menurut Undang-Undang secara  negatif  dimana  dalam  isinya berbunyi: hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya  dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindakan pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan kata lain untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus memenuhi hal-hal berikut:

a. Dua alat bukti yang sah;

b. Ada keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya;

Pembuktian menurut Undang-undang secara Positif (positief wettelijke bewijstheorie) yang sistem pembuktian yang berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-Undang. Keyakinan hakim dikesampingkan dalam sistem ini. Dalam pembuktian kesalahan terdakwa asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian  menurut  Undang-Undang, sudah cukup untuk menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan apakah hakim yakin atau tidak. Apabila terbukti secara sah menurut Undang-Undang hakim dapat menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa. Kebaikan   sistem   pembuktian   ini   adalah dalam menentukan pembuktian kesalahan terdakwa hakim dituntut untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian   dengan   alat-alat   bukti   yang telah ditentukan oleh Undang-Undang;

Pembuktian menurut Undang-undang secara Negatif (Negatif Wettelijke Bewijstheorie) adalah sistem pembuktian gabungan dari system pembuktian menurut Undang-undang secara positif dan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim. Jadi sistem pembuktian ini merupakan keseimbangan antara dua system yang bertolak belakang satu sama lainnya;

Maka kesimpulan salah tindakannya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang dengan cara Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang, Keyakinan hukum yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti yang sah  menurut  Undang-Undang;

Pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis (conviction raisonee) teori  ini  hampir  sama  dengan  teori Conviction in Time, yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim tetapi dibatasi oleh alasan-alasan yang jelas, dimana hakim harus menguraikan dan menjelaskan alasan- alasan yang mendasari keyakinan atas kesalahan terdakwa. Alasan-alasan yang dimaksud harus dapat diterima dengan akal yang sehat. Hakim tidak terkait kepada alat-alat bukti yang diterapkan oleh Undang- Undang. Dengan demikian hakim dapat mempergunakan alat-alat bukti lain yang di luar ketentuan perundang-Undangan;

Penemuan hukum oleh hakim dalam praktek Pengadilan, ada 3 (tiga) istilah yang sering dipergunakan oleh Hakim yaitu penemuan hukum pembentukan hukum atau menciptakan hukum dan penerapan hukum. Diantara tiga istilah ini, istilah penemuan hukum paling sering di pergunakan  oleh Hakim, sedangkan istilah pembentukan hukum biasanya dipergunakan oleh lembaga pembentuk undang-undang (DPR). Dalam perkembangan lebih lanjut, penggunaan ketiga istilah itu saling bercampur baur, tetapi ketiga istilah itu berujung kepada pemahaman bahwa aturan hukum yang ada dalam undang-undang tidak jelas, oleh karenanya  diperlukan  suatu penemuan hukum atau pembentukan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memutus  suatu perkara;

Dalam Undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 5 (1) menjelaskan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim di lingkungan peradilan dalam mengambil keputusan terhadap perkara pidana yang diperiksa dan diadili agar dalam pengambilan keputusan dapat sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sehingga kata “menggali” biasanya diartikan bahwa hukumnya sudah ada, dalam aturan perundangan tapi masih samar-samar, sulit untuk diterapkan dalam perkara konkrit, sehingga untuk menemukan hukumnya harus berusaha  mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila sudah ketemu hukum dalam penggalian tersebut, maka Hakim harus mengikutinya dan memahaminya  serta  menjadikan  dasar  dalam putusannya agar sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;

Dengan demikian Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, pertama kali harus menggunakan hukum tertulis sebagai dasar putusannya. Jika dalam hukum tertulis tidak  cukup, tidak  tepat  dengan  permasalahan  dalam suatu perkara, maka barulah hakim mencari  dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum yang lain seperti yurisprudensi, dokrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis;

Menurut Undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 10 ayat (1) tentang Kekuasaan   Kehakiman  menentukan  “bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan  mengadilinya. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama Pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi Hakim untuk menemukan  hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas;

 

Untuk membuka file dalam bentuk Pdf silahkan klik Attachment dibawah ini: